Unas sudah selesai, tinggal nunggu pengumuman. Pasti kamu-kamu deg-degan nunggu hasil, soalnya pertaruhan masa depan. Yang lulus pasti bersukacita, yang tidak lulus jangan putus asa. Masih banyak cara dan jalan menuju sukses. Untuk itu kita coba berbincang-bincang dengan konsultan pendidikan NEXT Education Center, Munif Chatib (CEO NEXT). Mudah-mudahan dengan pandangan yang disampaikan beliau bisa menjadi motivator buat kamu-kamu meraih sukses. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa pandangan bapak terhadap sistem UNAS yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka penentuan kompetensi seorang siswa ? Menurut pandangan saya, untuk eksistensi ujian nasional itu harus dilihat dari dua hal, yang pertama kualitas soal itu sendiri, dan yang kedua fungsi dari soalnya. Kalau dilihat dari kualitas soal, UNAS masih menggunakan multiple choice (memilih-red) artinya jenis soal ini kalau dinilai dari ilmu otentik assessment (penilaian asli-red) maka jenis tes seperti sekarang ini masuk kedalam kualitas paling rendah dari sebuah tes pengetahuan. Kalau diumpamakan seperti susunan tangga maka posisinya ada pada tangga paling bawah. Karena sistem tes ini tidak mendidik anak untuk sampai pada tahap analisa, bahkan jawabannya bisa di bonda bandi melalui kancing baju. Sebenarnya penilaian terhadap kualitas soal kognitif ada 6 tangga, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi. Bila keenam kriteria soal tersebut terpenuhi maka itulah hasil terbaik dari siswa. Yang kedua fungsi UNAS, semestinya bukan menjadi penilaian untuk standar kelulusan siswa dari satu jenjang ke jenjang berikutnya. Lebih baik bila fungsinya sebagai pemetaan kualitas pendidikan berdasarkan daerah dan sekolahnya. Sehingga pemerintah akan memperoleh nilai berdasarkan wilayah, dan akan diketahui bahwa antara daerah itu memiliki nilai dan pengetahuan yang berbeda-beda nilainya. Sebab belum tentu kualitas pendidikan antara perkotaan dan pedalaman itu sama kualitas pendidikannya, sama kualitas materi pelajarannya dan sama pula kualitas tenaga pengajarnya. Sementara fungsi UNAS yang di terapkan oleh pemerintah saat ini adalah menjadi standar kelulusan pelajar. Kalau kita lihat di negara-negara maju yang menjadi hak evaluator itu dimiliki oleh sekolah, tidak diintervensi oleh pemerintah. Hal ini memberikan keleluasan bagi masing-masing sekolah dapat memberi penilaian bagi anak didiknya. Karena sistem kita sudah ada untuk mengatur akreditasi suatu lembaga pendidikan. Dengan sistem penilaian langsung dari sekolah akan memberikan kesempatan bagi para guru untuk mengevaluasi anak didiknya sendiri karena mereka yang sering terlibat langsung dengan para siswanya dan cukup mengerti tentang siswanya, bukan diuji oleh orang yang tidak dikenal oleh siswa itu sendiri. Kalau sistem UNAS kita masih tergolong sistem penilaian yang paling rendah, seharusnya pemerintah mengubah sistem, membuat sistem UNAS yang berkualitas, Sebenarnya ada nggak niat pemerintah mengubah sistem ? Kalau bicara tetang sistem pendiddikan kita saat ini ada banyak factor yang mempengaruhi, ada factor politik, bisnis dan urusan perut. Sebenarnya orang-orang pemerintah ini cukup berkompetensi untuk membuat sistem pendidikan yang lebih baik. Kondisi UNAS saat ini cuma sebatas penilaian soal kognitif (multiple choice) yang rendah sekali. Apalagi dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dengan penilaian dari 3 ranah, pertama kognitif adalah daya pikir seseorang yang sifatnya sebatas menghafal pelajaran, psikomotorik adalah kemampuan seseorang untuk mencipta dan berkreasi, yang terakhir adalah afektif dinilai dari sikap dan value. Sementara UNAS kita saat ini cuma mewakili nilai kognitif yang rendah. Makanya lulusan SMU kita belum siap menghadapi lapangan kerja, berbeda betul dengan SMK diluar negeri para lulusannya mampu menciptakan lapangan kerja. Sementara lulusan kita masih repot cari kerja dan ironisnya nggak ada perusahaan yang maun menggunakan tenaga mereka. Diknas sendiri masih dalam pencarian bentuk untuk membuat sistem kurikulum terbaik dan cocok dengan dunia pendidikan Indonesia, seharusnya masalah ini sudah selesai dari dulu. Satu contoh kasus sistem kita tidak menemui kematangan, sebelum 2004 kurikulum kita BERBASIS MATERI dimana para pelajar dituntut TAHU APA?, setelah 2004 berbalik menjadi KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI dimana pelajar dituntut BISA APA ?. Tetapi dalam penerapannya menghadapi banyak maslah, sepertinya jalan ditempat tidak maju. Karena peraturan teknis pelaksanaanya tidak ada. Bila kita membuat suatu sistem kurikulum seharusnya di evaluasi setelah 10 tahun, bukan setiap tahun dievaluasi tidak cocok lalu diganti lagi. Terus kapan sistem kurikulumnya bagus. Yang kedua seharusnya dunia pendidikan itu jangan di muatin politik. Ada kerangka sistem yang tidak jelas, dimana kerangka kurikulum itu dapat dilakukan oleh sekolah. Ini juga jadi masalah, dimana kerangka kurikulum sudah selesai dibuat oleh masing-masing sekolah, kenapa yang melakukan ujian itu Diknas ?. Sistem pendidikan kita sebenarnya benang kusut yang ada ujungnya, ini kembali kepada kesadaran manusianya. Bahwa dunia pendidikan mesti dihindari dari factor-faktor politik, bisnis dan kepentingan pribadi. Sehausnya sistem pendidikan kita tidak hanya berorientasi pada kecerdasan pengetahuan saja, tapi harus menempa orang cerdas yang berakhlak mulia. Bila dunia pendidikan kita menghasilkan sarjana-sarjana yang jujur dan berakhlak baik, maka sistem kita dapat diperbaiki juga dengan baik. Apa pesan-pesan bagi para siswa yang sudah lulus dan yang tidak lulus ? Temukan kecenderungan kecerdasan dalam setiap lingkungan masing-masing pelajar, walau pun kecenderungan kecerdasan ini sangat kompleks. Hasil-hasil nilai kognitif sama sekali tidak menentikan nilai kecerdasan, apalgi sukses atau tidak sukses. Menurut penelitian malah IQ itu Cuma 6-20% mempengaruhi seseorang itu sukses, sedangkan 80 % adalah emotional question (kecerdasan emosi), Jadi nilai-nilai kognitif tidak perlu dikhawatirkan bila kurang bagus, lebih baik mencari kecenderungan kecerdasan yang kita miliki, karena belum tentu kita gagal dalm belajar berarti gagal semuanya. Boleh jadi kita memiliki kecerdasan yang lain, seperti music, olah raga atau menggali kreatifitas yang lainnya. Hal ini dapat dibantu melalui alat-alat uji komprtensi yang dilakukan NEXT seperti MIR (Multiple Intelligence Risearch). Fresh Graduate apapun tidak akan khawatir mencari pekerjaan, malah menjadi motivator bagi yang lain. Menjadi api yang dapat membakar api semangat membesarkan perusahaan itu sendiri. Kita mesti berani out of box (keluar dari sistem) karena sistem yang statis dan membelenggu akan membuat kita menjadi bodoh. Jadi harus keluar, karena orang-orang besar yang sukses adalah berani melakukan sesuatu diluar sistem.
Tuesday, May 13, 2008
UNAS dan Barometer Kompetensi Siswa
Diposting oleh Document Service di Tuesday, May 13, 2008
Subscribe to:
Comment Feed (RSS)
|